Mental Block
- Aditya Indrajaya
- Oct 16, 2022
- 3 min read
Akhir tahun 1998, belum genap satu semester kuliah, saya sudah keracunan kisah-kisah sukses para pengusaha besar. Semangat pun bergelora. Saya ingin jadi pengusaha saat itu juga. Kalau harus belajar jualan, baiklah. Saya siap.

Pucuk dicinta ulam tiba. Ada seorang teman yang punya barang dagangan melimpah: alat tulis super murah Made in Cina. Saya tinggal ambil barangnya, setor uangnya, dan yang tidak laku dikembalikan. Gampang dan tanpa resiko.
Saat saya membongkar satu tas besar penuh barang dagangan, ada tetangga saya yang kebetulan datang bertamu. Dia melihat ruang tamu penuh alat-alat tulis bertebaran, lalu bertanya-tanya, dan akhirnya minta ijin ikut menjualkan. Saya tahu dia sudah setahun lebih dikeluarkan dari perusahaan tempatnya bekerja. Dulu dia salah satu orang terkaya dan terpandang di kampung saya. Dan selama setahun ini dia sibuk mempersiapkan bisnis sendiri. Itu yang selalu dia ceritakan ke semua orang.
Merasa mendapatkan partner orang bisnis, saya pun dengan senang hati membagi dua barang dagangan itu, mengambil untung sedikit saja per satuannya. Hitungan saya kalau habis terjual toh dapatnya lumayan.
Besoknya saya mengajak sahabat saya muter-muter kota Solo untuk menjual alat-alat tulis itu. Sasaran kami adalah sekolah, terutama SMP dan SMA. Banyak juga yang berhasil kami jual, hingga barang yang kami bawa tinggal sedikit. Kami pulang dengan bahagia. Bukan karena uangnya, melainkan lebih karena itu pengalaman pertama kami berjualan dan sukses.
Saya pun mendatangi rumah tetangga yang kemarin minta ikut jualan, hendak mengambil uang hasil penjualannya sekaligus bertanya dia butuh tambahan stock sebanyak apa. Namun ternyata barangnya masih utuh karena katanya dia belum sempat menjualnya.
Besoknya saya dan sahabat saya kembali memutari Solo, mendatangi sekolah-sekolah yang belum kami datangi. Lagi-lagi dagangan kami laris manis hanya di beberapa sekolah saja, bahkan kami dapat pesanan untuk mengisi koperasi di salah satu sekolah itu.
Saya pulang dan mampir lagi ke tetangga, berharap dagangannya juga laris. Namun ternyata barang itu masih saja utuh. Lagi-lagi dia beralasan sedang sibuk. Padahal kemarin ibu saya berkata kalau tetangga kami itu sudah muter-muter berjualan. Istrinya juga bercerita kalau dia sudah berjualan kesana kemari tetapi tidak laku. Katanya kualitas barangnya jelek. Tentu saja saya kaget.
Akhirnya, didorong oleh rasa penasaran, besoknya saya dan sahabat saya sengaja menunggu tetangga itu berangkat lebih dulu. Kemudian kami membuntutinya dari jauh. Kami sungguh heran, ingin tahu di mana dia berjualan, bisa-bisanya gak laku sama sekali. Padahal kemarin-kemarin saya sudah bercerita barang itu laris manis di sekolah-sekolah.
Tetangga saya berhenti di gang samping sebuah sekolah. Kemudian membuka tas besarnya, mengeluarkan beberapa bungkus alat tulis, membolak-baliknya. Lantas dia seperti berpikir. Lama dia berpikir. Setelah itu dia turun dari motornya dan berjalan ke depan gerbang sekolah itu, celingak-celinguk sebentar, lalu duduk di bawah pohon di pinggir jalan. Dia merenung lama. Setelah itu dia balik lagi ke motornya, memasukkan kembali dagangan ke dalam tas, lalu pergi. Hah? Saya dan sahabat saya berpandangan.
Dia berhenti lagi di sebuah sekolah. Dan aktivitas yang sama pun kembali terulang. Kali ini dia tidak terlalu lama merenung. Kemudian dia pergi lagi, muter-muter gak jelas, sampai akhirnya berhenti di sebuah masjid, dan tidur di emperannya. Kami berdua pun pergi sambil terlongong-longong. Jadi begini ternyata. Pantas saja tidak ada yang laku.
Peristiwa itu sampai kini masih terbayang jelas di benak saya. Setiap kali saya menemui seseorang dengan gestur tak berdaya, saya seringkali teringat tetangga itu. Itulah yang sering disebut sebagai mental block, kondisi di mana sesuatu yang seharusnya bisa kita lakukan dengan mudah menjadi teramat sulit karena persoalan di dalam diri kita sendiri.
Sejak saat itu saya jadi rajin mengamati orang-orang dewasa di sekitar saya, dan saya menyimpulkan bahwa mental block ini bisa terjadi pada siapa saja. Yang paling parah terjadi pada mereka yang sebelumnya punya jabatan tinggi di tempat kerja atau punya status terpandang di kampung atau di suatu komunitas. Semakin parah mental block yang diderita, semakin susah juga mengatasinya.
Namun bukan berarti orang 'biasa' seperti saya bisa dengan mudah mengatasi mental block ini. Saya juga sering kelimpungan dan bingung sendiri saat ingin membuka usaha, padahal semua persiapan sudah lengkap.
Facebook >Hengki >Group KAGAMA
Comments